|
Appearance of Niankhkhnum and Khnumhotep Embracing Each Other in Their Tomb. sumber: s-media-cache-ak0.pinimg.com |
Jum’at ini terhitung sebagai hari ketujuh setelah saya menulis artikel
tentang saudara ‘Ikrimah dan hadis yang beliau riwayatkan tentang perintah
pemberian hukuman mati kepada tersangka pelaku homoseks. Masih ditemani suasana
ngopi, saya lalu iseng lagi membaca hal-hal dalam Islam yang berkaitan dengan
homoseks. Lah, karena suasana ngopi saya pagi agak siang ini ditemani
al-Qur’an, saya lalu tergerak untuk membaca al-Qur’an terbatas pada
ayat-ayatnya yang menyinggung homoseksual. Tibalah saya pada ayat tentang Nabi
Lut dan kaumnya.
Dalam ayat tersebut, Nabi Lut dijelaskan berkata pada kaum beliau ‘Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ (terjemahan bahasa Indonesia versi
aplikasi Qur’an Android atas potongan ayat ke-80 dari Surat al-A’raf). Jika
kita mengikuti para mufassir, misalnya al-Thabari, yang mengartikan faahisyah
tersebut sebagai homoseksual, maka kita bisa menarik kesimpulan (dan keyakinan,
dalam kasus Muslim—karena mereka meyakini kebenaran apa yang disampaikan
al-Qur’an) bahwa kaum Nabi Luth lah yang pertama kali, dalam sejarah manusia,
melakukan homoseks.
Entah ada angin apa, saya lalu membuka wikipedia untuk tahu sejarah
homoseksual dan alangkah terkejutnya saya ketika membaca disitu bahwa yang
diduga pertama kali melakukan homoseksual bukanlah kaum Nabi Luth, melainkan
Niankhkhnum dan Khnumhotep. Siapakah dua tokoh tersebut? Bagaimana bisa mereka
berdua diduga sebagai pasangan yang pertama kali melakukan homoseksual? Saya kepo-in
hal-hal tentang mereka berdua, dan beginilah ceritanya:
Pada 1964, di Saqqara, ditemukan makam dari dua orang manicurist
(ahli perawatan tangan dan kuku) dari Dinasti Kelima Kerajaan Mesir Kuno (+
2400 SM), Niankhkhnum dan Khnumhotep. Keduanya digambarkan dalam kedekatan yang
sangat intim (beberapa di antaranya adalah saling berpelukan dan berpegangan
tangan). Penggambaran keduanya dalam kedekatan seintim itu membuat para
peneliti (baca: arkeolog, peneliti kehidupan dan kebudayaan zaman kuno
berdasarkan peninggalannya) bertanya ‘apakah mereka berdua saudara, atau
ayah-anak, atau sahabat-sejati-ndunyo-akherat? Greg Reeder, salah
seorang egyptologist (arkeolog yang memfokuskan objek di Mesir),
menafsirkan kembali penggambaran dua tokoh tersebut dan menyebutkan mereka
sebagai sepasang pecinta, bukannya saudara, ayah-anak atau sahabat-sejati-ndunyo-akherat.
Nadine Cherpion pada tahun 1995 mempublikasikan penelitiannya tentang
berbagai cara para seniman pada era Dinasti Keempat, Kelima dan Keenam Kerajaan
Mesir Kuno menggambarkan pasangan suami istri. Hasil penelitian Cherpion ini
digunakan Reeder untuk membandingkan penggambaran Niankhkhnum dan Khnumhotep
dengan penggambaran seniman di tomb lain atas pemilik tomb dengan
istrinya. Hasil perbandingan ini ternyata lebih mendukung kemungkinan bahwa
keduanya adalah sepasang pecinta. Dengan kata lain, Reeder berpendapat bahwa
keduanya sepasang homoseks.
Mengingat Nabi Lut dan kaum beliau ada pada sekitar abad 20 SM, bisa kita
pahami kenapa Niankhkhnum dan Khnumhotep diduga sebagai pelaku homoseksual
pertama dalam sejarah manusia. Masalahnya, bagi Muslim, penjelasan ini
bertentangan dengan penafsiran mereka atas ayat al-Qur’an yang tadi saya kutip.
Dan karena saya juga Muslim, hal itu menggelisahkan saya juga. Kegelisahan saya
sebenarnya bukan pada kemungkinan bahwa dengan data arkeologis tersebut akan
ada orang yang mempertanyakan kebenaran al-Qur’an dalam kutipannya tentang
sejarah karena lebih tepatnya, yang dipertanyakan adalah penafsiran orang
Muslim terhadap ayat al-Qur’an yang mereka anggap tentang homoseksual dan
mengandung, terutama potongan ayat tadi, nuansa sejarah.
Sebagai Muslim dan lebih-lebih sebagai seorang santri, saya pasti masih
meyakini bahwa apa yang kami yakini yang al-Qur’an katakan lah yang benar. Tapi
lalu saya membayangkan betapa sulitnya saya ketika mempertahankan keyakinan saya
itu jika nanti diajak orang berdebat dan dia membawa-bawa data arkeologis
tersebut. Akal saya kemudian bercuriga tentang sebuah hal yang sangat liberal
dan sebenarnya saya sangat takut untuk mengatakannya which is
‘jangan-jangan pemahaman atas potongan ayat tersebut (bukan ayatnya) yang perlu
dilihat lagi?’.
Sayang
sekali harus saya akui tulisan ini hanya berakhir dengan ajakan untuk
berdiskusi tentang kekhawatiran yang saya ungkapkan dalam paragraf terakhir
tersebut dan doa agar ada seseorang yang bisa menjawab lalu kemudian
menenangkan hati saya—lebih-lebih dalam waktu yang sama meyakinkan pada saya
juga bahwa al-Qur’an benar-benar salihun li kulli zaman wa makan,
al-Qur’an selalu berguna terlepas dari dan tidak bertentangan dengan (dua dari
makna salih yang saya pilih) tempat mana pun dan era apapun. Amin. Kopi
saya sudah agak dingin, saya pamit.