Sabtu, 04 Maret 2017

Menuju Penafsiran al-Qur'an Non-homofobik

Siapapun akan dengan mudah menemukan Muslim yang berpandangan bahwa homoseksual adalah negatif dan bertentangan dengan al-Qur'an yang firman Allah. Sebaliknya, akan sangat jarang ditemukan seorang Muslim yang memandang homoseksual tidak negatif, apalagi positif. Lebih jauh, mungkin sangat sedikit sekali--untuk tidak mengatakan tidak ada--orang Muslim yang dengan penuh kesadaran mengatakan bahwa homoseksual tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Yang menarik kemudian untuk ditanyakan adalah, apakah pandangan tersebut (bahwa homoseksual bertentangan dengan al-Qur'an) secara logis berdasar?
Seorang yang mengatakan bahwa homoseksual bertentangan dengan al-Qur'an hampir selalu mengaitkan pernyataannya dengan dan mendasarkannya pada kisah tentang Nabi Luth dan kaum beliau. Bahkan pernyataan Nabi Luth yang dikutip langsung oleh al-Qur'an menjadi dasar mereka untuk mengatakan bahwa homoseksual tidak secara alami ada dalam diri manusia (baca: bukan fitrah manusia), relatif muda dibandingkan dengan sejarah manusia, dan oleh karenanya bukan sesuatu yang layak dipertahankan. Membaca ini, kita segera mendapatkan pertanyaan baru, "apakah benar ayat al-Qur'an tersebut (lebih tepatnya al-A'raf:80 dan al-'Ankabut:28) mengarah seseorang untuk berkesimpulan demikian?"
Saya akan mengatakan bahwa yang saya dapati, tafsiran atas ayat-ayat tersebut lah yang membawa mereka pada kesimpulan seperti itu. Lalu, seberapa kuatkah tafsiran itu? Mungkinkah ayat itu ditafsirkan dengan cara lain? Atau, bisakah ayat tersebut kita pahami sebagai tidak negatif terhadap homoseksualitas?
Jawaban atas pertanyaan pertama adalah "cukup kuat", mengingat tafsiran tersebut mengikutsertakan beberapa, bahkan banyak, hadis. Namun demikian, dengan mempertimbangkan perkembangan dan dinamika kritik hadis sampai saat ini, bukan tidak mungkin hadis-hadis tersebut berubah statusnya menjadi bermasalah dan kemudian, menjawab pertanyaan kedua, membuka peluang untuk tafsiran lain yang bisa jadi, menjawab pertanyaan ketiga, membuat kita memahami ayat-ayat tersebut sebagai tidak negatif terhadap homoseksualitas.
Ingatkan saya untuk menulis tentang beberapa hal; bagaimana kritik hadis paling mutakhir bertutur ketika berhadapan dengan riwayat-riwayat yang diikutsertakan dalam tafsiran dua ayat tersebut, bagaimana bentuk pemahaman kita terhadap ayat-ayat tersebut jika hasil tuturan itu kita pertimbangkan, dan sudahkah ada yang berbicara dengan nada-nada positif terhadap homoseksualitas ketika menafsirkan kedua ayat tersebut.

Jumat, 03 Maret 2017

Nomor Ayat dalam Mushaf Cetakan di Indonesia

Nomor ayat dalam sejarah Mushaf al-Qur'an baru muncul ketika ia memasuki periode cetakan. Nomor ayat dalam mushaf al-Qur'an pertama kali ditemukan di mushaf hasil cetakan Abraham Hinckelmann di Hamburg (Jerman) pada 1694. Sejarah juga mencatat bahwa mushaf cetakan Gustavus Fluegel (Jerman) tahun 1834 sudah memunculkan nomor ayat. Hanyasaja cetakan Hinckelmann menggunakan 'angka Arab', sedangkan Fluegel menggunakan 'aksara Arab'. Betapapun demikian, keduanya meletakkan nomor ayat di awal ayat.
Catatan sejarah kemudian menunjukkan bahwa Matba'ah Usmaniyah (percetakan Usmaniyah) di Istanbul pada 1881 juga mencantumkan nomor ayat. Namun ada beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam pencantuman ini; semua nomor ayat pada setiap surat dimulai dengan angka 2 (bukan angka 1), dan tidak ada nomor untuk ayat-ayat yang ada di halaman awal mushaf yang beriluminasi (lebih tepatnya seluruh ayat dari al-Fatihah dan beberapa ayat pertama Surat al-Baqarah). Beralih ke Indonesia, mushaf pertama yang ditemukan memiliki penomoran ayat adalah yang diterbitkan oleh Matba'ah al-Islamiyah pada tahun 1933.
Walhasil, kemunculan nomor ayat dalam mushaf al-Qur'an muncul pada periode cetakan; lebih tepatnya pada 1694 (Abad 17) di Jerman, lalu pada 1834 (paro pertama Abad 19) juga di Jerman, pada 1881 (paro kedua Abad 19) di Turki. Di Indonesia, nomor ayat baru ditemukan di mushaf yang dicetak pada 1933 (awal Abad 20).
Jika Indonesia 

Sabtu, 26 November 2016

Menggugat Keyakinan Islam tentang Sejarah Homoseksualitas: Kaum Nabi Luth vs Niankhkhnum-Khnumhotep

Appearance of Niankhkhnum and Khnumhotep Embracing Each Other in Their Tomb. sumber: s-media-cache-ak0.pinimg.com
Jum’at ini terhitung sebagai hari ketujuh setelah saya menulis artikel tentang saudara ‘Ikrimah dan hadis yang beliau riwayatkan tentang perintah pemberian hukuman mati kepada tersangka pelaku homoseks. Masih ditemani suasana ngopi, saya lalu iseng lagi membaca hal-hal dalam Islam yang berkaitan dengan homoseks. Lah, karena suasana ngopi saya pagi agak siang ini ditemani al-Qur’an, saya lalu tergerak untuk membaca al-Qur’an terbatas pada ayat-ayatnya yang menyinggung homoseksual. Tibalah saya pada ayat tentang Nabi Lut dan kaumnya.
Dalam ayat tersebut, Nabi Lut dijelaskan berkata pada kaum beliau ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ (terjemahan bahasa Indonesia versi aplikasi Qur’an Android atas potongan ayat ke-80 dari Surat al-A’raf). Jika kita mengikuti para mufassir, misalnya al-Thabari, yang mengartikan faahisyah tersebut sebagai homoseksual, maka kita bisa menarik kesimpulan (dan keyakinan, dalam kasus Muslim—karena mereka meyakini kebenaran apa yang disampaikan al-Qur’an) bahwa kaum Nabi Luth lah yang pertama kali, dalam sejarah manusia, melakukan homoseks.
Entah ada angin apa, saya lalu membuka wikipedia untuk tahu sejarah homoseksual dan alangkah terkejutnya saya ketika membaca disitu bahwa yang diduga pertama kali melakukan homoseksual bukanlah kaum Nabi Luth, melainkan Niankhkhnum dan Khnumhotep. Siapakah dua tokoh tersebut? Bagaimana bisa mereka berdua diduga sebagai pasangan yang pertama kali melakukan homoseksual? Saya kepo-in hal-hal tentang mereka berdua, dan beginilah ceritanya:
Pada 1964, di Saqqara, ditemukan makam dari dua orang manicurist (ahli perawatan tangan dan kuku) dari Dinasti Kelima Kerajaan Mesir Kuno (+ 2400 SM), Niankhkhnum dan Khnumhotep. Keduanya digambarkan dalam kedekatan yang sangat intim (beberapa di antaranya adalah saling berpelukan dan berpegangan tangan). Penggambaran keduanya dalam kedekatan seintim itu membuat para peneliti (baca: arkeolog, peneliti kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan peninggalannya) bertanya ‘apakah mereka berdua saudara, atau ayah-anak, atau sahabat-sejati-ndunyo-akherat? Greg Reeder, salah seorang egyptologist (arkeolog yang memfokuskan objek di Mesir), menafsirkan kembali penggambaran dua tokoh tersebut dan menyebutkan mereka sebagai sepasang pecinta, bukannya saudara, ayah-anak atau sahabat-sejati-ndunyo-akherat.
Nadine Cherpion pada tahun 1995 mempublikasikan penelitiannya tentang berbagai cara para seniman pada era Dinasti Keempat, Kelima dan Keenam Kerajaan Mesir Kuno menggambarkan pasangan suami istri. Hasil penelitian Cherpion ini digunakan Reeder untuk membandingkan penggambaran Niankhkhnum dan Khnumhotep dengan penggambaran seniman di tomb lain atas pemilik tomb dengan istrinya. Hasil perbandingan ini ternyata lebih mendukung kemungkinan bahwa keduanya adalah sepasang pecinta. Dengan kata lain, Reeder berpendapat bahwa keduanya sepasang homoseks.
Mengingat Nabi Lut dan kaum beliau ada pada sekitar abad 20 SM, bisa kita pahami kenapa Niankhkhnum dan Khnumhotep diduga sebagai pelaku homoseksual pertama dalam sejarah manusia. Masalahnya, bagi Muslim, penjelasan ini bertentangan dengan penafsiran mereka atas ayat al-Qur’an yang tadi saya kutip. Dan karena saya juga Muslim, hal itu menggelisahkan saya juga. Kegelisahan saya sebenarnya bukan pada kemungkinan bahwa dengan data arkeologis tersebut akan ada orang yang mempertanyakan kebenaran al-Qur’an dalam kutipannya tentang sejarah karena lebih tepatnya, yang dipertanyakan adalah penafsiran orang Muslim terhadap ayat al-Qur’an yang mereka anggap tentang homoseksual dan mengandung, terutama potongan ayat tadi, nuansa sejarah.
Sebagai Muslim dan lebih-lebih sebagai seorang santri, saya pasti masih meyakini bahwa apa yang kami yakini yang al-Qur’an katakan lah yang benar. Tapi lalu saya membayangkan betapa sulitnya saya ketika mempertahankan keyakinan saya itu jika nanti diajak orang berdebat dan dia membawa-bawa data arkeologis tersebut. Akal saya kemudian bercuriga tentang sebuah hal yang sangat liberal dan sebenarnya saya sangat takut untuk mengatakannya which is ‘jangan-jangan pemahaman atas potongan ayat tersebut (bukan ayatnya) yang perlu dilihat lagi?’.
Sayang sekali harus saya akui tulisan ini hanya berakhir dengan ajakan untuk berdiskusi tentang kekhawatiran yang saya ungkapkan dalam paragraf terakhir tersebut dan doa agar ada seseorang yang bisa menjawab lalu kemudian menenangkan hati saya—lebih-lebih dalam waktu yang sama meyakinkan pada saya juga bahwa al-Qur’an benar-benar salihun li kulli zaman wa makan, al-Qur’an selalu berguna terlepas dari dan tidak bertentangan dengan (dua dari makna salih yang saya pilih) tempat mana pun dan era apapun. Amin. Kopi saya sudah agak dingin, saya pamit.